detik news

STATISTIK

asmaul husna

Kamis, 21 Juli 2011

SETELAH AKU TIADA

Gerimis malah kian menipis. Hujan tak jadi turun sepertinya. Satu dua orang kemalaman tampak bergegas keluar dari tempat berteduh. Mendung yang menyelingkup seluruh Lamongan sejak sore mambuat malam lebih cepat kelam. Jalan jadi lebih sepi dari biasanya.
Tiba di depan rumah, Papa membunyikan klakson sekali. Tak ada reaksi dari dalam rumah. Ia turun dari mobil. Membanting putung rokoknya di jalan dan menginjaknya sekalian. Ia lari menerobos gerimis dan membuka pintu gerbang hingga pintu garasi dan memasukkan mobilnya.
Seisi rumah lenggang, hampa dan sepi. Susah benar baginya menelan makan malamnya. Bukan hanya bosan disuguhi nasi dengan mie instan dingin, tetapi terlebih karena rasa ngilu yang mengiris dadanya. Hari ini tidak berbeda dengan hari-hari kemarin. Bangun pagi ia hanya akan menemukan sepiring sarapan di meja makan. Anak-anak mengurung diri di kamar dan baru akan keluar setelah Papa berangkat ke kantor. Sore hari juga begitu. Tiga anak Papa tidak lagi berlarian menyongsong ke pintu pagar setiap kali Papa pulang. Ia tidak lagi menemukan Ali, Aswim dan Ratna bercanda di ruang makan. Tak ada tawa renyah bermanja.
Tak ada lagi alunan lagu-lagu pop Bandung yang cengeng. Bahkan Ali yang sulung mungkin sudah mengungsi belajar ke rumah temannya, sementara Aswim dan Ratna mengurung diri di kamar terkunci.
“Apa salahku sebenarnya…?” protes Papa dalam hati. “ Mereka memusuhi aku… memusuhi Papa mereka... padahal aku sendiri butuh kawan untuk berbagi duka, butuh kawan berbincang tentang Sunny, istriku…! Sedangkan aku tidak punya siapa-siapa. Belum sebulan aku kehilangan anakku sekarang aku kehilangan anak-anakku yang lain. Duh, salah apa aku?” Desah Papa terdesak.
Papa sadar ternyata yang paling kehilangan atas kematianku 5 tahun sesudah kematian ibu adalah dirinya sendiri.
***
Beberapa bulan ini Papa selalu pulang telat ke rumah. Krisis moneter berkepanjangan membuat bisnis property terpuruk dalam. Gulung tikar. Papa yang Kepala Bagian Keuangan punya usul mencoba bermain “profit taking”. Di bursa saham sambil menunggu kondisi membaik. Hal ini mengakibatkan kesibukan Papa meningkat. Saudara-saudaraku protes karena Papa nyaris tak punya waktu lagi untuk mereka. Papa hanya mementingkan pekerjaannya saja. Tak ada lagi bersama, tak ada lagi saling bercanda.
Kini rumahku terasa sangat sepi seperti kehilangan roh karena Sunny, Ibu tiriku terkena stroke sejak 2 bulan lalu dan sempat koma beberapa hari dan akhirnya ia meninggal. Semuanya berubah. Aku, Ibuku dan Ibu tiriku meninggal, saudara-saudaraku yang menjauhi Papa. Memusuhinya karena mereka menganggap Papa adalah dalang dari kematian Ibu tiriku. Papa yang membuat ibu mereka meninggal sebab kelakuan Papa yang berwatak keras dan tak bisa diganggu gugat jika sudah menjadi keputusan.
“Yah, anak-anakku tentu sangat terpukul oleh kepergian Mama mereka. Mareka lebih deket kepada Mama ketimbang aku. Bukan aku tak sayang mereka, tetapi kupikir sebaiknya memang Sunny saja yang lebih dekat dengan mereka. Dan sekarang... ah, Sunny terlalu cepat meniggalkan aku.”
2 hari lagi musim liburan, biasanya menjelang liburan Papa dan sekeluarga menyempatkan pulang ke Malang. Saudara-saudaraku telah berkumpul di ruang tengah sementara di ruang depan tampak berjajar koper dan tas-tas besar, saat Papa baru terbangun dari tidurnya. Mereka berencana untuk pulang ke rumah neneknya di sana. Dan, astaga…! Harus pergi pagi ini juga! Mereka memaksa untuk pergi hari ini.
“Duh, sayang…! Papa lagi sibuk sekali, kalian tahu kan…? Papa tidak mungkin cuti, izin atau apapun! Papa tidak mungkin bisa mengantar kalian! Pekerjaan Papa masih numpuk di meja.” Sergah Papa terperangah menatap saudara-saudaraku.
“lho, siapa yang minta diantar…?” Ratna bergumam, wajahnya berpaling ke arah lain. “Kami tidak mau merepotkan Papa. Kami bisa pulang sendiri ke Malang” lanjutnya.
“Apa…? Pulang…?” Papa terpelangak. Sepatah kata itu terrasa menyakitkan.
“Ya, pulang ke Malang, Pa…!”
“Jadi… kalian pikir ini rumah siapa…? Bukan rumah kalian…?” Papa melotot, mengeluarkan nada yang tinggi tak terkendali hingga membuat saudara-saudaraku ketakutan.
Sekarang justru sebaliknya, saudara-saudaraku membuat Papa ketakutan. Isi kamar mereka masing-masing mereka boyong semua. Koper besar-besar, tas penuh sampai bungkusan boneka yang berjajar-jajar di ruang depan menunjukkan bahwa mereka berniat tinggal di rumah nenek lama sekali. Sungguh ini bukan sekedar berlibur sambil menikmati hari liburan yang akan datang, melainkan mengungsi bahkan pindah ke kampung Sunny, almarhummah ibu tiriku. Akhirnya Papa menyadari akan ketakutannya itu, hingga ia harus mengiyakan keinginan saudara-saudaraku.
Dalam perjalanan menuju ke Malang, tidak ada yang bersuara sama sekali, entah untuk memulainya pun sepertinya mereka enggan. Saudara-saudaraku lebih memilih untuk duduk di bangku belakang daripada duduk di dekat Papa.
Rasa haru menggelak dalam dada. Ketika Papa mengajak saudara-saudaraku untuk singgah di restoran favorit sekeluarga. Semakin ia menatap ke salah satu meja restoran, semakin ia merasa seperti orang yang tidak waras. Karena teringat kenangan yang dahulu ada, antara aku, ibuku, ibu tiriku, saudara-saudaraku serta Papaku sendiri kini tlah hilang sudah. Apalagi dengan sikap saudara-saudaraku yang masih belumlah terima akan kepergian ibu tiriku 5 tahun yang lalu. Ia hanya tersenyum sendiri sembari menarik kursi yang berkelilinng di meja itu, hingga pengunjung heran menatap Papa yang semakin tak waras kelihatannya. Ia memejamkan matanya, mencoba merasakan Sunny berada di sampingnya, mengajaknya makan, dan bemanja dengannya.
“Tuhan, ajari aku. Kuatkan aku. Aku ingin tetap tegar di hadapan anak-anakku, agar mereka percaya padaku. Agar mereka tidak kehilangan aku setelah mereka kehilangan Mama mereka. Tolong juga anak-anakku agar mereka melihatku bukan hanya dengan mata, tetapi juga dengan hati, pikiran dan perasaan…!” ia pun kembali ke tempat saudara-saudaraku berkumpul. Dengan sayu ia berjalan, wajahnya yang menampakkan betapa ia lelah menghadapi tingkah laku dari saudara-saudaraku.
Tiba-tiba….
“Papa… maafin aku, Pa…!” teriak Ratna, saudara bungsuku yang menangis sembari memeluk Papa. Disusul oleh saudara-saudaraku yang lain. Isak tangis pun menyeruak di antara mereka. Mungkin mereka telah tak tahan menahan kesedihan melihat Papa terluka akan sikap mereka yang masih belumlah bisa menerima kematian Sunny, ibu mereka. Ali, si sulung yang angkuh, berandalan dan nggak bisa diatur pun tiba-tiba mengeluarkan air mata yang memancarkan sebuah penyesalan. Apalagi si tengah, Aswin, dia yang berkarakter acuh tak acuh pun ternyata bisa menangis. Papa mencoba untuk menenangkan mereka, tapi semakin Papa mengeluarkan sepatah kata, semakin saudara-saudaraku menjadi, hingga pengunjung lainnya memperhatikan mereka.
Ketika Papa sudah bisa menguasai kondisi saat itu, Papa mencoba untuk memesan pesanan kesukaan saudara-saudaraku, namun mereka menolaknya.
“Bukankah Papa harus kerja, sekarang kita balik aja, Pa…!” pinta Ratna
“Sudahlah…! Papa sudah terlanjur meminta izin. Papa ingin kalian senang. Papa ingin menikmati kebersamaan kita hari ini…! Sudahlah.. jangan kalian hiraukan pekerjaan papa…!”
“Tapi, Pa…???!!!”
Papa mencoba memberi isyarat kepada mereka untuk tidak berkomentar. Merekapun mengerti…..
Aku, Ibuku, dan Ibu tiriku hanya bisa tersenyum dalam alam yang berbeda. Menyaksikan mereka, keluarga kami yang telah kembali bersama dalam indahnya kebersamaan untuk saling berbagi dan memahami. Karena memang itu adalah salah satu keindahan tersendiri dalam hidup, bersama dengan keluarga yang saling mencintai, memahami, dan bisa saling terbuka dan saling memaafkan. Walau pun semua telah pergi, semua telah berkurang, namun ingatlah, cinta, kasih, dan sayang sebuah keluarga adalah energy dalam segala sesuatu yang bisa menjadi takjub dan ajaib.

By:
Ara Fahsa’

0 komentar:

Posting Komentar

For your Coming...

Dynamic Blinkie Text Generator at TextSpace.net